Saat ini, kita banyak mendengar tentang kewirausahaan/entrepreneurship, pelakunya disebut entrepreneur/pengusaha/pebisnis/wirausahawan.
Banyak orang yang berusaha mendefinisikan bahkan membakukan konsep
kewirausahaan, namun sebuah keniscayaan bahwa kewirausahaan merupakan
proses kemandirian seseorang di dalam mencukupi kebutuhan hidup
sehari-harinya dengan berbasis pada proses bisnis/usaha yang
diciptakannya. Kenapa harus berbasis pada proses bisnis atau usaha yang
diciptakannya? Karena bisa jadi, seseorang memiliki kemandirian di
dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari namun dengan cara bekerja
pada orang lain. Menjadi wirausaha adalah merupakan pilihan hidup
sebagaimana profesi lainnya. Bahkan, zaman sekarang wirausaha sudah
menjadi tren, tidak seperti zaman dulu yang memandang wirausaha sebagai
kelas kesekian dalam status sosial.
Membangun bisnis memerlukan dua proses utama, yaitu proses membangun
mental berwirausaha dan proses manajerial bisnis (dimulai dari proses
identifikasi gagasan bisnis, menyusun proposal bisnis, menyusun visi,
misi, strategi bisnis hingga proses mengelola bisnis). Proses yang
paling penting (critical) adalah proses membangun mental.
Dibutuhkan waktu dan pengalaman praktek bisnis yang lama untuk bisa
memiliki mental baja dan naluri di dalam berbisnis. Itulah sebabnya
mental bisnis ini perlu dibangun sejak muda. Orang muda masih banyak
energi dan kreativitas untuk mengembangkan bakat dan bereksperimen di
dalam bisnis karena, sangat mungkin, untuk bisa mencapai keberhasilan
dalam bisnis harus melalui serangkaian kegagalan dan waktu yang lama.
Tidak dipungkiri lagi, bahwa kewirausahaan menjadi bahan
perbincangan dikarenakan tidak seimbangnya antara lapangan kerja dengan
jumlah tenaga kerja. Akan ke mana tenaga kerja terdidik kita jika
tidak terserap lapangan kerja? Tentu harus menciptakan sendiri lapangan
kerja toh mereka masih muda-muda dan energik. Pertanyaannya, sulitkah
menciptakan lapangan kerja? Tidak sulit. Kita hanya perlu untuk
bersabar dan bertawakal di dalam menjalankan seluruh proses untuk
mencapai mimpi sukses di dalam bisnis. Jika kita berhenti berusaha dan
bertawakal sebelum mimpi tercapai, maka disitulah letak kegagalan dalam
berbisnis. Keberhasilan mencapai kesuksesan di dalam berbisnis bukan
hanya dirasakan oleh diri sendiri melainkan dirasakan juga oleh orang
lain.
Kita perlu mencontoh spirit kewirausahawanan dari para generasi
salaf. Biasanya, kita akan merasa termotivasi jika ada sosok yang kita
idolakan, kita ambil idola generasi salaf. Meski zaman dan permasalahan
telah berbeda, tapi kita tiru kegigihan dan semangat mereka di dalam
berbisnis. Sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana Rasulullah n
sudah merintis bisnis sejak usia belia. Berdagang dari Arab hingga
Syam, naik onta. Renungkan, bagaimana mudahnya kita saat ini bepergian
memakai kendaraan. Daya jangkau pun lebih luas. Selain itu, ada juga
sahabat Abdurrahman bin Auf yang dengan mantapnya menolak tawaran harta
dan (calon) istri dari shahabat Anshor dan lebih memilih untuk
ditunjukkan lokasi pasar di Madinah. Generasi salaf mampu membangun
bisnis tanpa mengenyampingkan orientasi akherat. Bisnis mereka luar
biasa tapi infak dan sedekahnya di jalan Allah tak pernah putus. Bisnis
generasi salaf benar-benar membawa keberkahan bagi masyarakat di
zamannya.
Hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh wirausahawan muda adalah
ilmu tentang prinsip-prinsip ekonomi di dalam Islam. Salah satu
prinsipnya adalah sebagaimana pesan Khalifah Umar bin Khattab
radhialllahu’anhu kepada kaum Muslimin: “Hendaklah tidak berdagang di
pasar kita selain orang yang telah faham (berilmu), jika tidak, ia akan
memakan riba (ucapan beliau ini dengan teks demikian ini dinukil oleh
Ibnu Abdil Bar Al Maliky). Prinsip terpenting lainnya adalah hukum asal
setiap transaksi adalah halal. Sebagaimana kaidah fikih, “ Hukum asal
dalam segala hal adalah boleh hingga ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.” Kaidah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 29 yang artinya:
“Dialah yang menciptakan untuk kamu segala hal yang ada di bumi seluruhnya.”
Sedangkan, sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mendukung kaidah tersebut adalah:
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Musim).
Prinsip yang ada di dalam konsep ekonomi Islam akan menjadi dasar
pemilihan jenis dan aktivitas bisnis. Sebagai seorang muslim, tentu
harus memiliki perbedaan dengan orang kafir di dalam berbisnis. Bisa
jadi bisnis kita menjadi sarana dakwah kepada orang kafir.
Banyak dari kita memiliki gagasan bisnis, namun seringkali hanya
terhenti samapi di situ. Akibatnya, kita merasa bosan untuk memulai
bisnis. Seakan-akan ada tembok besar yang menghalangi untuk menjalankan
bisnis. Barangkali masih ada pemahaman yang keliru di dalam diri kita.
Dalam web pribadinya --fadelmuhammad.org, Fadel Muhammad menjelaskan tentang mitos yang biasanya menghinggapi pebisnis pemula:
Mitos 1: Entrepreneur adalah pelaku, bukan
pemikir. Mitos ini mengakibatkan orang yang bertipe pemikir menjadi
kurang percaya diri untuk membangun bisnis. Sebenarnya tidak perlu
diperdebatkan karena seseorang yang bertipe pemikir atau pelaku
memiliki kesempatan untuk menjadi entrepreneur. Bahkan kedua tipe ini perlu untuk berbagi peran jika kedua tipe ini bersepakat menjalin kerja sama bisnis.
Mitos 2: Entrepreneur itu dilahirkan,
bukan diciptakan. Mitos ini didasarkan pada pendapat bahwa pengusaha
itu sudah bakat sejak lahir, sehingga sulit dan tidak bisa dipelajari.
Jadi, yang tidak punya bakat, jangan harap jadi pengusaha. Bakat
tersebut antara lain naluri bisnis, keberanian mengambil risiko,
kemampuan menganalisa lingkungan bisnis, dan kemampuan menjalin
hubungan/interpersonal. Mitos semacam inilah yang membuat sebagian kita
jika sedang gagal dalam merintis bisnis kemudian menjadikan mitos ini
sebagai alasan kegagalan. Padahal saat ini, mitos itu sudah gugur karena
ternyata sudah berkembang ilmu entrepreneurship/kewirausahaan yang bisa dipelajari dan jika dipraktekkan akan mengarahkan kita menjadi seorang pengusaha.
Mitos 3: Entrepreneur selalu merupakan
penemu. Mitos ini mengakibatkan pemahaman yang keliru. Orang selalu
berpikir untuk berbisnis harus dengan ide yang original alias tidak
meniru. Padahal ada 3 prinsip dalam menciptakan bisnis, mencermati
bisnis yang sudah ada, mempraktekkannya, lalu berinovasi.
Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang
canggung, baik di dunia akademis atau di masyarakat. Mitos ini
terbentuk karena memang ada beberapa pengusaha yang terpaksa harus drop out dari kuliah atau bisa jadi malah dipecat dari perusahaan. Lalu masyarakat memberi image yang kurang bagus. Padahal mereka mungkin saja punya karakter yang kuat dan luar biasa dan bermimpi untuk kebaikan masyarakat.
Mitos 5: Untuk menjadi entrepreneur harus
memiliki uang/modal. Memang dalam mengoperasikan bisnis mau tidak mau
akan membutuhkan uang atau modal. Namun, kegagalan bisnis tidaklah
selalu ditentukan oleh uang, bahkan persoalan keuangan muncul merupakan
muara dari banyak kesalahan semisal ketidakjujuran dan
ketidakprofesionalan di dalam bisnis, perencanaan investasi yang jelek.
Di dalam bisnis, modal yang utama adalah trust (kepercayaan). Dengan kepercayaan, insyaallah
modal uang bisa diperoleh. Kalau kita memang benar tidak punya uang,
namun dengan memiliki modal kepercayaan, kita dengan mudah bisa
mengajukan proposal bisnis kepada investor (penyandang dana). Karena
itulah, membangun kepercayaan mesti sejak muda.
Mitos 6: Anda perlu nasib baik untuk menjadi entrepreneur.
Nasib baik sebenaranya adalah fungsi dari bertemuanya antara
kemampuan, perencanaa dan keterampilan bisnis yang kita miliki dengan
kesempatan yang datang. Jadi, apa yang nampak sebagai hoki atau
keberuntungan bisnis sesungguhnya adalah hasil manis dari persiapan
yang dilakukan oleh seorang entrepreneur.
Mitos 7: Entrepreneur adalah risk taker (pengambil resiko) yang ekstrem. Mitos ini seakan-akan memberikan penilaian, bahwa seorang entrepreneur adalah orang yang nekat di dalam berbisnis. Sebenarnya di sini ada unsur nekat. Hanya saja seorang entrepreneur mempunyai analisa, sehingga resiko yang diambil merupakan resiko yang sudah terukur dengan matang.
Mitos-mitos itulah yang akhirnya menjadi “mental blocks”.
Harus kita dobrak supaya keberanian di dalam berbisnis muncul. Jika
tidak didobrak, semakin tambah usia kita, semakin kuat mitos-mitos tadi
mempengaruhi pikiran bawah sadar kita dan akibatnya akan menutup
seluruh potensi, bakat dan kemampuan yang kita miliki. Selagi masih
muda, mari mitos itu kita hilangkan melalui serangkaian proses learning by doing (belajar sambil mengerjakan).
Salah satu proses sederhana yang bisa kita lakukan antara lain, coba
mencari seorang pengusaha yang relatif sukses dan jadikan dia sebagai
teman diskusi dalam bisnis. Pilih dan cari bisnis yang kira-kira sesuai
dengan minat, bakat dan sesuai kebutuhan masyarakat terdekat. Usahakan
yang sifatnya jasa supaya kebutuhan modalnya sedikit. Sekarang
informasi sudah bukan barang mahal jadi nampaknya tak sulit mencari
ide. Praktekkan kira-kira selama 6-12 bulan (atau kira-kira sesuai
dengan proses bisnisnya). Dalam proses ini perlu menjaga 3 hal, yaitu
berdoa dan bertakwa, kerja keras plus cerdas dan tetaplah fokus pada
mimpi bisnis yang sudah dipilih.
Berbisnis sebenarnya tidak mempermasalahkan muda atau tua. Hanya
proses yang panjang dalam membangun bisnis, menjadikan yang muda lebih
berkesempatan. Menghilangkan mitos (mental blocks) dalam
berbisnis lebih prioritas daripada proses managerial bisnis. Dalam
proses managerial bisnis, bisa jadi kita tidak mengoperasikan bisnis
tapi kita tetap memiliki bisnis. Tapi pada saat pertama kali bisnis,
kita memang harus pernah menjalankan bisnis sendiri. Caranya dengan
berpraktek. Lakukan segala sesuatu dengan make it simple (jangan berpikir rumit tapi berpikirlah sederhana). [Wibowo]
Sumber: Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar